Selasa, 30 Juni 2009

Pembinaan Pengelolaan Masjid




Oleh:Ahmad Buwaethy

Masih banyak masjid yang ada selama ini, terkesan dikelola dengan menggunakan manajemen ketokohan (bagaimana sesepuh saja) belum menerapkan manajemen modern dan professional. Kaitannya dengan pembinaan masjid yang dapat difungsikan secara maksimal, setidaknya ada 3 bidang pembinaan yang harus dilaksanakan :



1. Pembinaan bidang Idarah (manajemen)

Dengan luasnya fungsi masjid, maka pengelolaan masjid harus dilakukan dengan manajemen modern dan professional, jika masjid hanya dikelola secara tradisional maka masjid tidak akan mengalami kemajuan dan pada gilirannya akan tertinggal. Untuk itu perlu adanya manajemen masjid atau Idarah dengan meningkatkan kualitas di dalam pengorganisasian kepengurusan masjid dan pengadministrasian yang rapi, transparan, mendorong partisipasi jamaah sehingga tidak terjadi penyalahgunaan wewenang di dalam kepengurusan masjid.

2. Pembinaan bidang Imarah (memakmurkan masjid)

Memakmurkan masjid menjadi kewajiban setiap muslim yang mengharapkan untuk memperoleh bimbingan dan petunjuk Allah SWT. Sesuai dengan firman Allah surat At Taubah ayat 18 : “Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut kepada siapapun selain kepada Allah maka merekalah orang-orang yang mendapat petunjuk”.



3. Pembinaan bidang Riayah (pemeliharaan masjid)

Dengan adanya pembinaan bidang riayah, masjid akan tampak bersih, indah dan mulia sehingga dapat memberikan daya tarik rasa nyaman dan menyenangkan bagi siapa saja yang memandang, memasuki dan beribadah didalamnya. Sebagaimana yang diisyaratkan Allah dalam Al-Qur’an surat Al Imran ayat 97 : “……barang siapa memasuki baitullah menjadi amanlah dia…”. Demikian juga dalam hadist Rasulullah disebutkan : “ Kebersihan itu adalah sebagian dari iman” (HR.Muslim)



Apabila pengelolaan masjid dilakukan dengan manajemen seperti diatas tersebut, maka masjid dapat ditingkatkan fungsinya bukan hanya sebagai tempat shalat tetapi juga dapat berfungsi sebagai tempat peningkatan intelektual, pusat pemberdayaan ekonomi dan media kesehatan umat.



Tapi permasalahannya berapa banyak masjid-masjid yang ada di Indonesia dapat difungsikan secara maksimal, terutama yang berkaitan dengan upaya membangun tatanan sosial yang kokoh dalam berbagai segi kehidupan kemasyarakat. Permasalahan ini penting dikemukakan, karena ada gejala penyempitan makna dan fungsi masjid, diidentikkan dengan tempat shalat saja seolah-olah tidak memiliki fungsi untuk kagiatan yang bernuansa sosial, politik, ekonomi dan budaya. Bahkan sebagian masyarakat masih ada yang menganggap haram untuk melakukan aktifitas yang demikian itu dalam lingkungan masjid. Akibatnya, paningkatan jumlah masjid yang banyak di tengah masyarakat belum berpengaruh banyak terhadap penurunan angka kemiskinan, atau meredam konflik sosial yang dihadapi oleh bangsa ini.



Kurang berfungsinya masjid secara maksimal disebabkan oleh masih rendahnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang masjid. Selain itu, perhatian umat masih berfokus pada usaha pengadaan sarana fisik. Padahal, pemenuhan kebutuhan non fisik seperti mengaktifkan shalat berjamaah, mengadakan Majelis Ta’lim dan ceramah agama untuk memakmurkan masjid seperti diperintahkan Allah dalam Al-Qur’an, hingga saat ini masih terasa kurang.



Optimalisasi fungsi masjid, baik pada tingkat intensifikasi maupun eksistensialisasi, akan bermanfaat bagi pembinaan masyarakat, bukan sekedar aspek kegiatan ibadah ritual tetapi juga bagi pembinaan wawasan sosial, politik dan ekonomi serta wawasan lainnya yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman. Sebab kehadiran masjid ditengah-tengah kehidupan masyarakat dapat memberikan inspirasi sosial yang tidak sederhana. Misalnya pertemuan sosial yang dilakukan setiap kali sholat dapat membangun kedekatan sosial untuk menumbuhkankembangkan semangat solidaritas yang sangat tinggi.



Masjid sebagai suatu institusi secara umum sudah barang tentu mempunyai acuan atau standar tentang manusia paripurna atau insan kamil. Manusia dengan atribut-atribut tertentu seperti sebutan muttaqien, muhtadiin, muhsinin, mutawakkil, mutawwibin, mutathohirin merupakan indikator-indikator dari manusia paripurna. Sebagai atribut yang diberikan langsung oleh Allah SWT maka atribut itu dapat digunakan untuk acuan atau standar dari manusia paripurna oleh masjid secara umum. Maka dalam konteks ini pengertian sebagai dapat dipahami sebagai pusat yang menawarkan program-program atau kegiatan-kegiatan sedemikian rupa sehingga memberikan outcomes sebagai insan kamil dengan atribut-atribut diatas.



Idealnya masjid dapat dijadikan pusat kegiatan masyarakat untuk berusaha mewujudkan tatanan sosial yang lebih baik. Jika selama ini pusat pembinaan masyarakat masih terpusat di lembaga-lembaga formal seperti sekolah dan madrasah, masyarakat harus maju mengembangkan lembaga kemasjidan sebagai salah satu alternatif pembinaan umat dan masyarakat bangsa secara keseluruhan. Isyarat teologis yang menyatakan bahwa masjid itu “rumah Tuhan”, sesungguhnya memberikan makna bahwa masjid tidak lagi membuat individu sebagai sosok pemiliknya, tetapi merupakan gambaran kolektif yang terkait pada semangat ketuhanan yang universal, memancarkan semangat kebersamaan yang tumbuh melalui proses interaksi sosial secara alamiah.



Sejak zaman nabi, masjid selain difungsikan sebagai tempat pelaksanaan ibadah, juga difungsikan sebagai pusat kebudayaan, pusat ilmu pengetahuan, pusat informasi, pusat ekonomi kerakyatan, pusat pengaturan strategi perang, rekayasa sosial di masa damai, serta pusat pembinaan dan pengembangan sumber daya umat secara keseluruhan. Jadi kalau pada zaman nabi, masjid telah berfungsi sebagai pusat berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan, hal ini bukan karena konteks sosialnya yang sederhana, tetapi justru karena proses manajemen sosial kemasjidan yang telah berfungsi sebagai pengikat sosial yang lebih berorientasi kemajemukan atau multikulturalisme dan melupakan primordialisme.



Bagi masyarakat atau jamaah yang memakmurkannya, masjid merupakan cermin sosialisasi nilai-nilai kehidupan yang dibangun atas dasar keimanan dan ketaqwaan. Sebab secara teologis, masyarakat muslim meyakininya sebagai tempat berkomunikasi antara hambanya dengan Sang Penciptanya. Tempat mengadu secara transcendental, dan tempat menemukan makna kemanusiaan melalui interaksi bersama jamaah. Dalam sejarah Islam tercatat bahwa sejak periode pertama masyarakat muslim berdiri di bawah kharisma seorang pemimpin umat. Nabi Muhammad merintis terbentuknya satu model kehidupan masyarakat madani (civil society) dengan masjid sebagai pusat kegiataannya. Penyelenggaraan berbagai kegiatan yang dipusatkan di masjid pada saat itu, bukan saja karena masih sangat terbatasnya fasilitas yang dimiliki, tetapi juga karena disadari bahwa masjid memang merupakan pusat pembinaan masyarakat.



Karena itu sangat tepat, jika fungsi masjid dimaksimalkan untuk kepentingan-kepentingan pencerahan wawasan kepedulian sosial umat, khususnya melalui ikhtiar pemberdayaan dan demokratisasi. Peran strategis ini memungkinkan, karena masjid tidak mengenal kelas-kelas sosial dan primordialisme. Etika sosial yang berlaku di dalamnya tidak memberikan peluang bagi tumbuhnya egoisme, ketidakjujuran, malas atau berbagai prilaku negatif yang akan memancing ketidakharmonisan.



Melalui masjid masyarakat dapat mengembangkan tradisi silaturahmi, untuk saling bertukar fikiran, berbagi pengalaman dan informasi, memecahkan masalah-masalah sosial yang dihadapi, sekaligus menemukan jalan keluar yang sebaiknya ditempuh. Silaturahmi dipandang sebagai proses interaksi sosial dengan melibatkan individu dan jamaah, sehingga akan melahirkan satu model hubungan yang fungsional dalam membentuk komunitas tertentu.


Kehadiran masjid di tengah-tengah masyarakat muslim merupakan cermin persatuan dan kesatuan dalam ikatan etika persaudaraan islami. Sebab di tempat itulah setiap individu muslim dapat menempatkan dirinya secara utuh, baik dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah maupun khalifah-Nya. Di masjid, umat Islam dapat melaksanakan ibadah ritual sebagai salah satu ajaran agama, dan di tempat yang sama, umat Islam juga dapat melaksanakan ibadah-ibadah sosial lainnya yang berdimensi kemanusiaan. (aby)17/09/07
Sumber http://bimasislam.depag.go.id

0 komentar:

Posting Komentar